Tuesday, November 24, 2009

Tentang Perjuangan di Mata Warganegara Belanda

Seorang tante asal Indonesia yang sekarang jadi warganegara Belanda menceritakan love affairnya dengan Indonesia. Sebagai wanita kelahiran Riau kepulauan 70 tahun silam, terlahir dengan perawakan Tionghoa berbadan mungil. Bapak import dari negeri Tiongkok dan ibu yang cina peranakan merupakan keluarga pengusaha perkebunan terpandang di pulau kecil bernama Tarempa. Salah satu pulau terluar Indonesia, dalam gugusan Anambas. Mari kita panggil dia Nio da Costa.

Besar bersama adik dari ibunya yang menikah dengan arsitek asal Belanda. Arsitek bule itu cukup terpandang pada jamannya, membangun bandara di Tanjung Pinang dan beberapa bangunan kebanggaan Jakarta.

Tante Nio dan satu kakakknya diboyong oleh sang tante (yang lalu resmi menjadi ibunya secara hukum) ke Jakarta, ke salah satu rumah milik papa angkatnya di Jl. Diponegoro. Tak hanya pada jaman ini saja jalan Diponegoro menjadi kawasan elit, kawasan di tengah kota dengan pemandangan danau itu pun sudah elit pada jamannya. Tidak hanya satu, tapi tiga rumah berdekatan menjadi properti milik keluarga baru itu. Tante Nio mengenyam pendidikan ala Belanda dimulai dari Jakarta sampai kebijakan yang dianggap kurang mengenakkan bagi keluarga mereka diberlakukan oleh presiden saat itu, Soekarno. Nasionalisasi. Rumah yang pernah mereka tinggali sekarang jadi milik pribadi lain, berdiri dengan megahnya. Yang lainnya belum diketahui kabarnya. Apakah benar digunakan untuk kepentingan nasional? Mereka tak berani cari tahu.

Eksodus ke Belanda tahun 1958 menjadi jurang pemisah antara tante Nio dan keluarga besarnya di Riau. Kunjungan keluarga sekarang semacam kunjungan liburan yang hanya dapat dilakukan sesekali waktu. Kadang malah jadi suatu perjuangan bagi mereka.

Akhir tahun 1965, keluarga tante Nio berkunjung ke Indonesia melalui gerbang ibukota. Tepat saat G30S/PKI terjadi. Bandara internasional ditutup. Salah satu teman lama dari jemaat Advent memberi tempat untuk berlindung saat Golden dan Rupiah tidak berlaku lagi karena ketegangan Jakarta saat itu. Tante Nio dan kakaknya lalu memilih untuk lari ke tempat mereka sewaktu kecil, Tanjung Pinang. Ketakutan dan kebersamaan dengan kakak dan adik membuat lupa waktu. 3 bulan sudah ia tinggal disana, berdiam. Sampai akhirnya petugas imigrasi mencium keberadaannya dan menahannya karena menyalahgunakan masa berlaku Visa yang seharusnya hanya utuk masa 1 bulan. "Lucu juga kalau dipikir, SD tempat kami sekolah dulu, waktu itu dijadikan tempat tahanan" kata tante Nio.

Pendidikan ala Belanda yang diterimanya menjadi pelicin untuk mengadu nasib di negeri asing itu. Sempat bekerja di perusahaan coklat, dan masa terlama karirnya dia habiskan di perusahaan penerbangan Belanda KLM, hingga pensiun.

Bertemu dengan pemuda Indonesia di Belanda, menikah dan miliki dua anak dari pernikahannya. Kini sebagian besar waktunya dipakai untuk menjaga cucu. Sesekali juga untuk mengunjungi keluarga di Indonesia selama musim dingin dengan menggunakan lifetime freepass dari KLM sebagai hadiah pensiun. Tersenyum setiap kali mengingat Indonesia dan makanannya yang lekker.