Tuesday, December 29, 2009

Tentang Pria dan Facial

Peribahasa "pria tunduk diujung kerling wanita" saya rasa benar. Membujuk seorang pria untuk melakukan kegiatan yang dinilai kewanitaan ternyata tak sesulit yang kita kira. Seperti membalikkan telapak tangan, seperti mengambil permen dari tangan seorang balita, seperti mengerlingkan sebelah mata, seperti itulah..... gancil.

Suami saya, seorang pria yang bangga akan ke-priaannya percaya akan filosofi sweat like a pig is manly, burp like crazy sounds tough, therefore considered cool. Dia yang menjadi bahan percobaan saya kali ini. Kepiawaian saya sebagai wanita cerdas (ngakunya) yang sedikit menghalalkan banyak cara untuk mendapatkan keinginannya, saya rasa perlu diakui.

Kemarin suami saya bangun dengan muka bentol-bentol indikasi calon jerawat yang sedang antre. Ting!! Tiba-tiba terfikir kalau ini saat yang tepat untuk mengajak dia facial, lumayan buat cari teman selama masa penyiksaan 2jam itu.
Jengata: Akang... kok mukanya gitu sii??
Suami  : Kenapa?
Jengata: Ya ampun.... jerawatnya banyak bangeeettt. Beneran deh.... facial yuuu, sebelum tambah parah lho!!
Suami  : Hah?
Jengata: Temenku mukanya ampe bopeng-bopeng gitu lho karena saking parah jerawatnya.
Jengata: Lagian.. tenang ajaa nanti banyak bapak-bapak juga kok ditempat facial langgananku itu.
Suami  : Ok deh
Aha!! Berhasil!! Timing yang tepat, mengajak saat baru bangun tidur, saat belum semua nyawanya terkumpul.

Tahap pertama dari sesi facial dua jam itu berjalan lancar. Sesi kedua yang biasanya menyiksa, semua bakal jerawat dan komedo yang ada di lapisan epidermis kulit muka kita dikeluarkan dengan paksa secara mekanis menggunakan alat congkel yang terbuat dari stainless steel. Suami saya mulai mengerang kesakitan. "Aduh mba... bisa lebih pelan sedikit?" katanya berulang. Hihihihihi.... tawa kurangajar saya beraksi dihati. "Mba... yang bersih yaa... itu yang bagian dahi jangan kelewat!!" kata saya ke mbak yang sedang melayani suami saya. Proses itu berlangsung selama kurang lebih 20menit.

Highlight dari perjalanan facial saya bersama suami adalah saat tahap closure... scrub, masker, dan totok wajah. Lucu, membayangkan si machoman tidur keenakan karena nyamannya baluran masker beraroma timun.

Setelah selesai, dia terlihat fresh dan dengan bangga bertanya "Jadi kapan lagi ni kita facial? Mukaku enteng ni rasanya segerrr.." Lho kok malah dia yg excited yaa?? Otak saya mulai lincah berfikir.. setelah ini saatnya membujuk beli laptop baruu.

Tuesday, November 24, 2009

Tentang Perjuangan di Mata Warganegara Belanda

Seorang tante asal Indonesia yang sekarang jadi warganegara Belanda menceritakan love affairnya dengan Indonesia. Sebagai wanita kelahiran Riau kepulauan 70 tahun silam, terlahir dengan perawakan Tionghoa berbadan mungil. Bapak import dari negeri Tiongkok dan ibu yang cina peranakan merupakan keluarga pengusaha perkebunan terpandang di pulau kecil bernama Tarempa. Salah satu pulau terluar Indonesia, dalam gugusan Anambas. Mari kita panggil dia Nio da Costa.

Besar bersama adik dari ibunya yang menikah dengan arsitek asal Belanda. Arsitek bule itu cukup terpandang pada jamannya, membangun bandara di Tanjung Pinang dan beberapa bangunan kebanggaan Jakarta.

Tante Nio dan satu kakakknya diboyong oleh sang tante (yang lalu resmi menjadi ibunya secara hukum) ke Jakarta, ke salah satu rumah milik papa angkatnya di Jl. Diponegoro. Tak hanya pada jaman ini saja jalan Diponegoro menjadi kawasan elit, kawasan di tengah kota dengan pemandangan danau itu pun sudah elit pada jamannya. Tidak hanya satu, tapi tiga rumah berdekatan menjadi properti milik keluarga baru itu. Tante Nio mengenyam pendidikan ala Belanda dimulai dari Jakarta sampai kebijakan yang dianggap kurang mengenakkan bagi keluarga mereka diberlakukan oleh presiden saat itu, Soekarno. Nasionalisasi. Rumah yang pernah mereka tinggali sekarang jadi milik pribadi lain, berdiri dengan megahnya. Yang lainnya belum diketahui kabarnya. Apakah benar digunakan untuk kepentingan nasional? Mereka tak berani cari tahu.

Eksodus ke Belanda tahun 1958 menjadi jurang pemisah antara tante Nio dan keluarga besarnya di Riau. Kunjungan keluarga sekarang semacam kunjungan liburan yang hanya dapat dilakukan sesekali waktu. Kadang malah jadi suatu perjuangan bagi mereka.

Akhir tahun 1965, keluarga tante Nio berkunjung ke Indonesia melalui gerbang ibukota. Tepat saat G30S/PKI terjadi. Bandara internasional ditutup. Salah satu teman lama dari jemaat Advent memberi tempat untuk berlindung saat Golden dan Rupiah tidak berlaku lagi karena ketegangan Jakarta saat itu. Tante Nio dan kakaknya lalu memilih untuk lari ke tempat mereka sewaktu kecil, Tanjung Pinang. Ketakutan dan kebersamaan dengan kakak dan adik membuat lupa waktu. 3 bulan sudah ia tinggal disana, berdiam. Sampai akhirnya petugas imigrasi mencium keberadaannya dan menahannya karena menyalahgunakan masa berlaku Visa yang seharusnya hanya utuk masa 1 bulan. "Lucu juga kalau dipikir, SD tempat kami sekolah dulu, waktu itu dijadikan tempat tahanan" kata tante Nio.

Pendidikan ala Belanda yang diterimanya menjadi pelicin untuk mengadu nasib di negeri asing itu. Sempat bekerja di perusahaan coklat, dan masa terlama karirnya dia habiskan di perusahaan penerbangan Belanda KLM, hingga pensiun.

Bertemu dengan pemuda Indonesia di Belanda, menikah dan miliki dua anak dari pernikahannya. Kini sebagian besar waktunya dipakai untuk menjaga cucu. Sesekali juga untuk mengunjungi keluarga di Indonesia selama musim dingin dengan menggunakan lifetime freepass dari KLM sebagai hadiah pensiun. Tersenyum setiap kali mengingat Indonesia dan makanannya yang lekker.

Friday, October 23, 2009

Tentang Kuil Sang Tabib

Karena target keliling Southern Phuket Province (Thailand) dengan budget seminim mungkin, saya berhasil menawar harga Tuk tuk dengan harga 400Baht (Rp 120.000). Menurut saya cukup murah, karena harga itu berlaku untuk saya dan 3 orang travel partner untuk perjalanan keliling selama 5jam ke 1 gem-store, 3 kuil lalu mampir di travel agent untuk pesan tiket ferry, dan terakhir di-drop di local restaurant. Nah... bagian pertama ini yang kurang menyenangkan.... ternyata ada kompensasinya untuk mendapatkan harga murah itu, yaitu kita diharapkan untuk mampir (dan syukur kalo bisa membeli perhiasan yang dijual) di toko tersebut. Gem-store itu memberikan free gasolene untuk tuk tuk driver yang mengantarkan turis kesana, no wonder tuk tuknya berharga murah. Untuk memberikan free gasolene itu, juga ada sebabnya. Harga perhiasan disana muahal-muahal.

Tujuan utama kami adalah ke "Temple of the serene light", tapi karena berangkat sore.. kami putuskan untuk stop-over ke Wat Chalong. Wat Chalong adalah kuil yang paling besar dan terkenal dari 29 Budhist Temple di Southern Phuket Province. Terletak sekitar 8km dari Phuket Town, membutuhkan waktu sekitar 15-20 menit dengan Tuk tuk. Memakan waktu sekitar satu jam bagi kami karena terjebak dengan skenario "tuk-tuk gemstore-scam" tadi.


Kurang tahu pasti kapan didirikannya, tapi kuil ini pernah mengalami restorasi pertama tahun 1837, saat pemerintahan Rama V. Yang membuat kuil ini sohor adalah bhiksu yang pernah tinggal disana yaitu Luang Pho Chaem dan Luang Pho Chuang. Mereka dipercaya mampu menyembuhkan banyak jenis penyakit dari demam hingga patah tulang dengan metode herbal. Bhiksu Luang Pho Chaem juga berperan penting dalam perlawanan para pemberontak daerah saat itu. Pertempuran fisik para pejuang didukung dengan kekuatan spiritual dan obat-obatan herbal oleh para bhiksu sehingga akhirnya pemberontakan pun hilang.

Disini kita bisa numpang diramal ala Buddhis. Dilantai dalam main hall, ada gelas dari bambu yang bisa kita pakai. Lakukan goyangan ritmis pada gelas itu dengan gerakan setengah memutar sambil berdoa sampai salah satu kertas ramalan jatuh. Baca nomor yang tertera di kertas itu. Tukarkan dengan catatan ramalan bernomor sama dilemari sebelah kanan hall. Voila!! Ramalan berbahasa Thai tibaaaa....!! :)

Bunyi petasan seperti primadona di kuil ini. Masyarakat sekitar banyak "menitipkan" doa mereka melalui Bhiksu Luang Pho Chaem karena dianggap sangat manjur. Mereka lalu mengungkapkan rasa terima kasih atas terkabulnya doa mereka dengan membunyikan petasan sebanyak mungkin di sekitar kuil.

Boleh dibilang Wat Chalong adalah salah satu kuil fave saya karena disini kita bisa merasakan budaya asli masyarakat sekitar. Tidak banyak turis yang datang kesini. Waktu senja, kompleks kuil ini terlihat indah karena dipenuhi dengan lighting yang mewah. Saatnya lanjut ke "Temple of the serene light"!!!

Sunday, October 18, 2009

Tentang Spanish Siesta

Satu hal yang menarik sewaktu perjalanan dinas ke Barcelona, Spain adalah budaya istirahatnya. Siesta adalah budaya tidur siang yang telah menjadi bagian dari tradisi mereka sejak berpuluh tahun lalu. Pada awal abad 20, jam kerja masyarakat Spanyol tak berbeda dari belahan Eropa lainnya. Perubahan terjadi sejak meletusnya Spanish Civil War tahun 1930an. Kondisi perekonomian berubah menjadi sangat mengkhawatirkan sehingga sebagian besar penduduk terpaksa untuk memiliki lebih dari dua pekerjaan tiap harinya dengan jam kerja yang tak beraturan. Mereka mulai bekerja dari pagi hingga jam makan siang diundur disertai dengan tidur singkat setelahnya untuk mengembalikan tenaga yang terkuras.

Ada yang bilang tradisi Siesta sudah ada jauh sebelum Spanish Civil War berlangsung, terbukti dengan keberadaan budaya serupa di beberapa bagian Amerika Latin bekas jajahan bangsa Spanyol. Banyak orang percaya budaya ini adalah akibat dari panasnya udara di siang hari dan juga besarnya porsi makan siang mereka.

Sekarang, kantor-kantor pemerintah di Spanyol sudah tidak menerapkan sistem ini dengan harapan kantor swasta pun dapat meniru contoh mereka. Siesta membuat jam kerja menjadi sangat panjang dan kurang efisien. Pekerja harus mulai kerja pagi, istirahat siang jam 2-5pm, dan kembali bekerja hingga diatas jam 8pm. Selama istirahat tiga jam itu biasanya mereka pulang untuk makan siang bersama dan mengakrabkan diri dengan keluarga masing-masing. Sebagian toko kecil juga masih menganut budaya ini, karenanya kita tak bisa belanja di toko penduduk asli antara jam 2-5pm.

Suasana jalan raya selama siesta

Sebagai efek siesta, kaum Spaniard tak terbiasa dengan tidur sebelum tengah malam. Pemandangan umum bila kita melihat oma-opa sedang makan Tapas di cafe kecil pada jam 3 pagi. Local restaurant baru marak pukul 9pm. Cutback dari siesta ini tidak membuat Spaniard merubah kebiasaan malamnya sehingga bila ditotal jam tidur mereka sangat singkat.

Bagi saya, bekerja disana berarti makan siang yang ditunda. Hiks... Biasanya makan siang jam 12 teng harus menunggu hingga paling cepat jam 1pm. Untungnya day snack dan free-flow coffee selalu menanti jamahan tangan kelaparan saya di kantin karyawan. Tapi ini hanya berlaku untuk kami, para tamu. Makan siang disana bagaikan surga makanan penuh nutrisi dan kaya garam dan olive oil. Resep sukses menuju bludreg.

Wednesday, October 7, 2009

Tentang Otak otak Tanjung Pinang



Perjalanan ke Tanjung Pinang ternyata tidak se-glamour yang saya bayangkan. Pantainya indah sekali memang tapi akses menuju sana yang susah.

Jumat itu saya ingin merasakan indahnya pantai Trikora. Perjalanan saya mulai dari daerah Kijang menggunakan mobil pinjaman. Di tepi jalan, sekitar 30 menit dari tempat saya berangkat ada warung kecil pertama yang saya temukan sepanjang perjalanan. Dagangan yang disediakan tidak ada yang istimewa kecuali satu yaitu the famous otak otak Tanjung Pinang.

Otak otak adalah salah satu makanan berbahan baku utama ikan. Otak otak yang biasa saya temukan di Jawa dibuat dari ikan Tenggiri, tapioka, telur, dan sedikit santan. Ikan dihancurkan sehingga jadi satu adonan dengan bahan lainnya lalu dibungkus memanjang menggunakan daun pisang dan dipanggang hingga daun pisang kehitaman. Disediakan sambal kacang sebagai bumbu siramnya. Bisa disajikan sebagai cemilan atau dimakan bersama nasi.

Di warung Tanjung Pinang ini, otak otak dicampur sedikit sotong. Campuran bumbu berwarna kuning kemerahan dicampur dalam adonan otak otak. Daun yang digunakan sebagai pembungkus adalah daun kelapa. Makanan ini tidak sekenyal otak otak yang biasa kita temukan di Jawa tetapi rasanya lebih gurih.

Satu bungkus otak otak dihargai Rp 1000, harga itu sepadan dengan rasanya. Unik. Apalagi mengingat makanan itu baru dibuat saat kita memesan. Ikan yang digunakan masih bisa dibilang fresh, tampaknya kesegaran ikan adalah penyebab tekstur kenyal di makanan itu.

Makan otak otak sambil bermain di pantai Trikora cukup berkesan untuk saya. Apalagi dilengkapi makan nasi dagang. Nanti kita lanjutkan lagi yaa...

Sunday, October 4, 2009

Tentang Bandara Setelah Gempa

Sabtu, 3 oktober 2009 saya mengantar suami tercinta ke bandara tercinta Soekarno-Hatta. Rasanya mau cepat pulang atau mungkin kalau saya pakai kacamata kuda akan lebih menyenangkan. Sayangnya kacamata kuda sedang tidak trend.

Perjalanan jauh dari rumah kesana yang menkonsumsi waktu hingga paling cepat satu jam sudah membuat jengah. Belum lagi tarif tol yang baru dinaikkan minggu ini membuat saya makin enggan mengeluarkan uang demi menggunakan jasa tol yang seharusnya jauh lebih nyaman daripada jalan normal.
Kurang nyamannya WC bandara sudah jadi momok kita bersama. Tampaknya usaha kompetisi keindahan WC antar-bandara di Indonesia yang diadakan oleh pihak berwenang baru-baru ini kurang memberi dampak yang signifikan (boleh dibilang gak ngaruh,bo). Porter yang bergelimangan di tepi trotoar sedikit mengganggu kunjungan saya kesana. Menurut saya akan jauh lebih baik jika ada management porter, jadi mereka tak perlu berebut untuk mencari nafkah. Mereka sudah resmi memang, memakai seragam, tapi kurang tertib.

Dan yang paling menyebalkan adalah calo tersembunyi yang sekarang justru ada dalam gerai maskapai resmi di bandara. Di dalam!!  Terbukti waktu suami saya mau membeli langsung tiket untuk hari itu di gerai resmi.
"Maaf, pak.. tiket untuk jam yang bapak inginkan sudah habis terjual" kata petugas resmi yang menggunakan seragam maskapai itu.
Seorang yang duduk disamping mas petugas tadi bilang "Pak..pak... saya ada tiket untuk jam itu tapi...."
Yaaaahh.... tebak sendiri deh kelanjutan dari kalimatnya. Petunjuk dari saya: orang itu tidak berseragam.

Bandara hari itu sesak, penuh orang. Biasanya saya mengumpat kalau kejadian seperti ini terjadi, apalagi biasanya disertai dengan tidak tertibnya antrian. Kali ini lain. Sepertinya ada kaitannya dengan bencana gempa di Padang baru-baru ini. Sebagian besar dari mereka adalah sukarelawan. Entah kenapa antrian panjang dan desakan pengunjung bandara kali ini jauh lebih tertib dari biasanya. Entah kenapa para sukarelawan jauh lebih tertib dari penumpang umumnya. Mungkin karena mereka didesak oleh kepentingan yang sama. Bukan kepentingan pribadi tetapi kemanusiaan.


Orang Jepang, orang Jerman, dan bangsa lainnya mengantri di antrian panjang yang sama. Membawa gadget hi-tech seperti GPS dan mechanical tools yang terlihat canggih dimata awam selain peralatan standar yang mungkin lebih terlihat seperti alat untuk tambang atau panjat tebing. Perbincangan serius diantara antrian membuat tegang suasana. Anehnya mereka semua mengisyaratkan hal yang sama: semangat dan harapan.
Terbukti.. hingga sekarang pun masih ada nyawa yang bisa diselamatkan. Para korban masih ada yang hidup. Pertolongan boleh telat, tapi harapan masih ada. Aneh bagaimana dunia bersatu membantu Sumatra diluar agenda politik dibelakang mereka. Tapi ini nyata.

Tiba-tiba bandara Soekarno-Hatta terlihat tegap dimata saya. Pintu Indonesia.

Belum lama saya diingatkan oleh teman warganegara Australia dalam messagenya yg singkat:
"Hi.. Heard what just happened at Sumatra! Totally intense hey. What would u have done?"

Apakah kita harus selalu diingatkan? Apa yang telah kita lakukan??!!

Monday, September 28, 2009

Tentang Kelakar Pak Guru

Di sebuah situs jejaring sosial yang sedang "in banget" saya menemukan sebuah percakapan antara seorang guru dan murid. Percakapan singkat berikut masih bisa dibilang "hot" karena memang baru terjadi beberapa jam yang lalu.
Percakapan diawali dengan Pak Guru yang mem-post sebuah link berisi latihan soal Matematika.




Pak Guru:
Buat murid2ku XII IPA , untuk latihan soal dapat didownload dari tautan berikut
Latihan soal-soal di atas untuk persiapan mid semester I matemaika. Selamat belajar semoga sukses. Tuhan memberkati.

Murid 1:
wah... kemajuan teknologi nih... gurunya sekarang kasih bahan pelajaran lewat FB. Klo murid yg nggak pny kompuetr gimana dong pak??

Pak Guru:
ya ke warnet lah...he..3x..hare gene masak tidak ada komputer...

Murid 1:
warnetnya jg msh tutup pak.. yg jaga nya belom balik dari kamung..
pak... marsud klo hari senin-jumat plg jam brp??

Pak Guru:
kalau begitu ke perpustakaan marsud saja...selain gratis juga adem...he..3x
senin - sabtu masih pulang jam satu siang

Murid 2:
hahaha sklan promosi marsud ya pak...=P

PERHATIAN:
Tidak ada yg diubah dari percakapan diatas....

Saturday, September 26, 2009

Tentang Menulis Blog

Dari yang saya baca, dengar, dan alami, ada beberapa manfaat yg bisa dipetik dari menulis blog pribadi.
* teman cur-hat
* reminder untuk kegiatan2 yang perlu dikenang
* sarana memperluas networking
* mengungkapkan opini pribadi didepan publik
* yahh.... syukur kalau bisa cari duit dari kegiatan nge-blognya

Cukup menarik... Karena pikun sudah menjadi penyakit menahun bagi saya, maka alasan utama saya menulis blog adalah supaya tidak lupa :)

Bagi saya butuh beberapa waktu untuk bisa memberanikan diri menulis didepan publik. Yaahh.... maklumlaahh... dari kecil saya tidak terbiasa mengekspresikan perasaan. Kecuali menangis atau kata orang Rusia "mewek", waktu kelilipan, kadang waktu sakit perut, dan terutama waktu menonton film mellow.

Semoga blog ini bisa membawa yg terbaik bagi saya dan orang lain yang "tidak sengaja" membacanya.