Sabtu, 3 oktober 2009 saya mengantar suami tercinta ke bandara tercinta Soekarno-Hatta. Rasanya mau cepat pulang atau mungkin kalau saya pakai kacamata kuda akan lebih menyenangkan. Sayangnya kacamata kuda sedang tidak trend.
Perjalanan jauh dari rumah kesana yang menkonsumsi waktu hingga paling cepat satu jam sudah membuat jengah. Belum lagi tarif tol yang baru dinaikkan minggu ini membuat saya makin enggan mengeluarkan uang demi menggunakan jasa tol yang seharusnya jauh lebih nyaman daripada jalan normal.
Kurang nyamannya WC bandara sudah jadi momok kita bersama. Tampaknya usaha kompetisi keindahan WC antar-bandara di Indonesia yang diadakan oleh pihak berwenang baru-baru ini kurang memberi dampak yang signifikan (boleh dibilang gak ngaruh,bo). Porter yang bergelimangan di tepi trotoar sedikit mengganggu kunjungan saya kesana. Menurut saya akan jauh lebih baik jika ada management porter, jadi mereka tak perlu berebut untuk mencari nafkah. Mereka sudah resmi memang, memakai seragam, tapi kurang tertib.

"Maaf, pak.. tiket untuk jam yang bapak inginkan sudah habis terjual" kata petugas resmi yang menggunakan seragam maskapai itu.
Seorang yang duduk disamping mas petugas tadi bilang "Pak..pak... saya ada tiket untuk jam itu tapi...."
Yaaaahh.... tebak sendiri deh kelanjutan dari kalimatnya. Petunjuk dari saya: orang itu tidak berseragam.
Bandara hari itu sesak, penuh orang. Biasanya saya mengumpat kalau kejadian seperti ini terjadi, apalagi biasanya disertai dengan tidak tertibnya antrian. Kali ini lain. Sepertinya ada kaitannya dengan bencana gempa di Padang baru-baru ini. Sebagian besar dari mereka adalah sukarelawan. Entah kenapa antrian panjang dan desakan pengunjung bandara kali ini jauh lebih tertib dari biasanya. Entah kenapa para sukarelawan jauh lebih tertib dari penumpang umumnya. Mungkin karena mereka didesak oleh kepentingan yang sama. Bukan kepentingan pribadi tetapi kemanusiaan.
Orang Jepang, orang Jerman, dan bangsa lainnya mengantri di antrian panjang yang sama. Membawa gadget hi-tech seperti GPS dan mechanical tools yang terlihat canggih dimata awam selain peralatan standar yang mungkin lebih terlihat seperti alat untuk tambang atau panjat tebing. Perbincangan serius diantara antrian membuat tegang suasana. Anehnya mereka semua mengisyaratkan hal yang sama: semangat dan harapan.
Terbukti.. hingga sekarang pun masih ada nyawa yang bisa diselamatkan. Para korban masih ada yang hidup. Pertolongan boleh telat, tapi harapan masih ada. Aneh bagaimana dunia bersatu membantu Sumatra diluar agenda politik dibelakang mereka. Tapi ini nyata.
Tiba-tiba bandara Soekarno-Hatta terlihat tegap dimata saya. Pintu Indonesia.
Belum lama saya diingatkan oleh teman warganegara Australia dalam messagenya yg singkat:
"Hi.. Heard what just happened at Sumatra! Totally intense hey. What would u have done?"
Apakah kita harus selalu diingatkan? Apa yang telah kita lakukan??!!
0 comments:
Post a Comment